Love at the first sight. Mungkin itulah yang dirasakan oleh seorang ibu saat melihat anaknya telah lahir ke dunia. Melihat sosok nyata yang selama sembilan bulan sebelumnya hanya berkomunikasi melalui ‘tendangan’ dan ‘elusan’ mampu menyematkan senyum di wajah yang pucat berlumur keringat. Bukan begitu, Moms?
Aku tidak tahu bagaimana wajah ibuku saat pertama kali melihatku. Aku juga tidak tahu seberapa erat ibu menggenggam jemari mungilku pada saat itu. Aku tidak mengingat seberapa nyaman ayunan tangan ayahku pada saat pertama kali menggendongku. Aku masih belum mampu merekam momen-momen pertama kali itu.
Seiring dengan bergulirnya waktu, mereka (ayah dan ibu) saling bekerja sama untuk merawatku. Tangan halus ibuku mengajarkanku tentang ini dan itu. Tangan kekar ayahku menggali nafkah untuk membayar sekotak susu. Sebuah kerja ikhlas yang tidak pernah terputus hingga saat ini, saat aku sudah beranjak dewasa.
Suatu ketika, di pertengahan Agustus 2014, sekeluarga mengantarku ke hunian sementaraku selama empat tahun di Malang. Dalam perjalanan menuju ke sana, air mataku sudah tidak tahan ingin menetes. Ku baringkan tubuhku di pangkuan ibuku. Dia bungkam dan tidak melakukan tindakan apapun. Kupikir dia tau bahwa aku berbaring bukan hanya untuk sekadar tidur. Iya, air mata seorang anak bungsu yang belum pernah tinggal berpisah sejauh dan selama itu.
Empat tahun itu hampir berlalu. Sesekali kuingat kembali bagaimana ku lalui hari-hariku di perantauan ini. Suka dan duka pasti ada. Hari-hari di mana tidak ku temui menu sarapan yang sudah siap disantap dan uang saku yang harus kuatur sendiri telah ku lalui sekaligus membentuk kemandirian hidup. Setidaknya aku sudah jarang merepotkan mereka untuk hal-hal sepeleh yang sebenarnya dapat ku lakukan dengan usahaku sendiri. Setidaknya aku tidak terlalu sering merepotkan ayahku untuk mengantar dan menjemputku. Hanya saja aku masih sering rindu suasana hangat di depan televisi bersama mereka, menjadi anak yang manja di usia dewasa.
Me time, sebuah ajang renungan diri yang ku sempatkan di tengah hantaman tugas-tugas perkuliahan. Hal-hal kompleks bermunculan menyesakkan pikiran. Namun, ada satu hal yang mampu mengalahkan semua hal tersebut, yaitu ingatan kepada orang-orang yang senantiasa menjagaku dari kejauhan. Keringat yang bercucuran untuk masa depanku, do’a-do’a yang setia mengiringiku dan senyum manis yang menyambut kedatanganku. Berbagai keadaan sulit berhasil ku lewati dengan cinta yang mereka kirimkan. Setiap detiknya adalah do’a untuk setiap detikku. Seakan tak mau kalah, aku pun mencoba untuk menyelipkan do’a untuk mereka. Begitulah yang dilakukan semua orang tua untuk menjaga anaknya dari jauh. Iya, melalui sebuah do’a.
Aku tidak tahu bagaimana wajah ibuku saat pertama kali melihatku. Aku juga tidak tahu seberapa erat ibu menggenggam jemari mungilku pada saat itu. Aku tidak mengingat seberapa nyaman ayunan tangan ayahku pada saat pertama kali menggendongku. Aku masih belum mampu merekam momen-momen pertama kali itu.
Seiring dengan bergulirnya waktu, mereka (ayah dan ibu) saling bekerja sama untuk merawatku. Tangan halus ibuku mengajarkanku tentang ini dan itu. Tangan kekar ayahku menggali nafkah untuk membayar sekotak susu. Sebuah kerja ikhlas yang tidak pernah terputus hingga saat ini, saat aku sudah beranjak dewasa.
Suatu ketika, di pertengahan Agustus 2014, sekeluarga mengantarku ke hunian sementaraku selama empat tahun di Malang. Dalam perjalanan menuju ke sana, air mataku sudah tidak tahan ingin menetes. Ku baringkan tubuhku di pangkuan ibuku. Dia bungkam dan tidak melakukan tindakan apapun. Kupikir dia tau bahwa aku berbaring bukan hanya untuk sekadar tidur. Iya, air mata seorang anak bungsu yang belum pernah tinggal berpisah sejauh dan selama itu.
Empat tahun itu hampir berlalu. Sesekali kuingat kembali bagaimana ku lalui hari-hariku di perantauan ini. Suka dan duka pasti ada. Hari-hari di mana tidak ku temui menu sarapan yang sudah siap disantap dan uang saku yang harus kuatur sendiri telah ku lalui sekaligus membentuk kemandirian hidup. Setidaknya aku sudah jarang merepotkan mereka untuk hal-hal sepeleh yang sebenarnya dapat ku lakukan dengan usahaku sendiri. Setidaknya aku tidak terlalu sering merepotkan ayahku untuk mengantar dan menjemputku. Hanya saja aku masih sering rindu suasana hangat di depan televisi bersama mereka, menjadi anak yang manja di usia dewasa.
Me time, sebuah ajang renungan diri yang ku sempatkan di tengah hantaman tugas-tugas perkuliahan. Hal-hal kompleks bermunculan menyesakkan pikiran. Namun, ada satu hal yang mampu mengalahkan semua hal tersebut, yaitu ingatan kepada orang-orang yang senantiasa menjagaku dari kejauhan. Keringat yang bercucuran untuk masa depanku, do’a-do’a yang setia mengiringiku dan senyum manis yang menyambut kedatanganku. Berbagai keadaan sulit berhasil ku lewati dengan cinta yang mereka kirimkan. Setiap detiknya adalah do’a untuk setiap detikku. Seakan tak mau kalah, aku pun mencoba untuk menyelipkan do’a untuk mereka. Begitulah yang dilakukan semua orang tua untuk menjaga anaknya dari jauh. Iya, melalui sebuah do’a.
Teruntuk ayah dan ibu yang cintanya tak berbatas bak lautan lepas, semoga tulisan ini dapat menerjemahkan rasa sayangku kepada kalian yang selama ini sulit untuk ku ungkapkan. Terima kasih selalu menuntunku dari masa ke masa.
Malang, 14 Februari 2018.
Malang, 14 Februari 2018.