Senja di Kedai Kopi Tanpa Kopi #2

by - September 19, 2020

 Sabtu, 19 September 2020


Hai! Kembali lagi! Di musim yang berbeda. Hehe.

Bener-bener deh waktu jalannya berasa cepet banget. Buru-buru mau ke mana sih. Heran. Terakhir blogging ditemenin rintik hujan yang turun agak sungkan. Hari ini blogging lagi ditemenin panas sinar matahari sore yang bikin berasa workout. Wkwkwkwk.

Terakhir blogging sebelum dilanda Corona. Masih inget banget bikin wishlist tempat-tempat yang mau dikunjungi tahun ini. Pengen melanglang buana. Ke mana-mana. Tapi berujung cuma wacana. Yaaa... mau gimana lagi yaa :")

Kadang kalo lagi pas sendirian dan nggak ngapa-ngapain suka kangen ngumpul bareng temen-temen. Kangen nonton. Kangen me time yang randomnya nggak ada obat. Keliling kota bersama bapak Go-jek. Kangen Malang beserta isinya. Kangen aja gitu. Sekarang kayak nggak ada nyali buat ngelakuin hal-hal kayak gitu. Dibebal rasa takut.

Takut nggak bisa lupa.

Eh apaan sih. Hahahaha!

Ngomong-ngomong tentang "nggak bisa lupa", setiap orang pasti pernah mengalaminya. Mmm... monmaap, "susah lupa" mungkin lebih tepatnya. Apalagi tentang hal-hal "pertama". Tentang siapa, di mana, kapan, dan bagaimana momen itu bisa sampai melekat di memori kita.

Pertama kali menerima hadiah.
Pertama kali belajar berkendara.
Pertama kali jatuh cinta.
Pertama kali terluka.
Pertama kali sembuh dari luka.
Hingga harus kembali terluka dan segera melupa......

Belum sempat berterima kasih kepada orang pertama yang mampu menyelamatkan diri ini dari hari-hari penuh duri. Juga atas banyak momen pertama kali yang telah dirangkainya. Sebelum rasa terima kasih itu terungkap, terlebih dahulu luka kembali menjemput silih berganti. Sang pencabut duri kini menjadi duri itu sendiri, bahkan lebih tajam.

Sore hari di kedai kopi tanpa kopi ini, ada yang sedang duduk seorang diri, menari bersama jemari, menatap diri yang kecewa dengan dirinya sendiri atas semua yang telah terjadi. Menatap kursi yang pernah mengukir memori di malam hari bersama hati yang ingin disinggahi, tapi ternyata tidak untuk dimiliki.

Sinar dari Barat semakin menyengat, mencipta keringat, dan semakin tidak ingin ingat.

Dering ponsel berdering tanda waktu bermonolog sudah habis.

Akhirnya, semuanya akan kembali berterima kasih kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang mampu menyelamatkan dirinya sendiri, kecuali ia sendiri.

Kedai kopi kembali sepi. Ketika aku berdiri, hanya ada sebaya bersama para kursi.

You May Also Like

0 komentar